Dari 280 SHGB dan SHM, Kementerian ATR/BPN Hanya Batalkan 50 Sertifikat di Pagar Laut Kohod, Tangerang

Polemik Pagar Laut di Kohod, Tangerang

TANGERANG – Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) baru-baru ini membatalkan 50 Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) di area pagar laut Desa Kohod, Kabupaten Tangerang. Pembatalan ini dilakukan setelah Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid, melakukan pengecekan langsung ke lokasi dan menemukan sejumlah sertifikat diterbitkan di atas lahan yang sudah tidak berwujud fisik atau dianggap musnah.

Dilansir dari Repelita, Pembatalan ini hanya menyasar 50 SHGB ini menuai sorotan dari berbagai pihak, termasuk warganet, yang mempertanyakan mengapa tidak semua sertifikat di area tersebut dibatalkan. “Loh yang dibatalkan @atr_bpn cuma 50 sertifikat? Kenapa gak semua?” tulis akun X @elisa_jkt, mengutarakan keheranannya.

Akun lain, @PartaiSocmed, juga menyoroti fakta bahwa penerbitan sertifikat dilakukan oleh kantor pertanahan kabupaten tanpa persetujuan dari kantor wilayah atau pusat, serta adanya Sertifikat Hak Milik (SHM) yang kemudian dibeli oleh badan hukum dan statusnya berubah menjadi HGB.

Mantan Sekretaris Kementerian BUMN, Muhammad Said Didu, juga mempertanyakan keputusan pemerintah yang hanya mencabut 50 sertifikat. “Kok cuma 50 yang dicabut?” tulisnya di akun X @msaid_didu. Ia juga menyinggung kemungkinan adanya desa lain yang mengalami kasus serupa namun belum tersentuh tindakan hukum. “Bagaimana dengan desa lain yang juga melakukan hal sama?” ungkap Said Didu.

Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid, menjelaskan bahwa pembatalan sertifikat hanya dilakukan pada lahan yang tidak lagi memiliki wujud fisik. “Kalau dulunya empang, tapi sekarang sudah tidak ada tanahnya, maka itu masuk kategori tanah musnah,” ujar Nusron Wahid saat berkunjung ke Desa Kohod, Pakuhaji, Kabupaten Tangerang, Jumat. Ia juga menegaskan bahwa jika material di lokasi tersebut sudah tidak ada, maka hak apa pun di situ, termasuk hak milik maupun hak guna bangunan, akan hilang. “Kami cek satu per satu. Kalau memang sertifikatnya ada tetapi tidak ada materialnya, otomatis kami batalkan. Tapi kalau masih ada materialnya seperti empang dengan wujud tanah dan ikan, itu tetap aman,” jelasnya.

Nusron menambahkan bahwa proses pembatalan sertifikat dilakukan secara bertahap untuk memastikan akurasi dari sertifikat-sertifikat yang dimiliki oleh warga. “Prosesnya bertahap karena harus dicek satu per satu,” ucapnya.

Sebelumnya, Nusron menyebutkan bahwa terdapat 280 sertifikat yang ditemukan di kawasan pagar laut di Desa Kohod, terdiri dari 263 HGB dan 17 SHM. Dari hasil penelusuran, ditemukan sejumlah sertifikat yang berada di luar garis pantai. “Secara faktual pada kondisi saat ini, terdapat sertifikat yang berada di bawah laut,” ungkap Nusron.

Penemuan pagar laut dari cerucuk bambu di perairan Tangerang sepanjang 30,16 kilometer menjadi pemicu awal penanganan kasus ini. Masalah ini awalnya ditangani oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), namun kemudian melibatkan Kementerian ATR/BPN setelah ditemukan adanya sertifikat tanah di bawah laut. Pagar laut tersebut diduga menghalangi akses nelayan ke laut dan menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat setempat. Pembongkaran pagar laut oleh TNI AL beberapa waktu lalu semakin menguatkan dugaan adanya pelanggaran dalam penguasaan lahan di kawasan itu.

sumner: Repelita