Banyuwangi Luncurkan Beras Biofortifikasi Skala Industri Pertama di Indonesia

Banyuwangi Luncurkan Beras Biofortifikasi Skala Industri

BANYUWANGI – Kabupaten Banyuwangi kembali menorehkan langkah besar dalam inovasi pertanian nasional. Setelah melalui proses riset dan budidaya selama hampir setahun, Banyuwangi resmi meluncurkan ekosistem beras biofortifikasi skala industri pertama di Indonesia, yang diberi nama Sunwangi (Sun Rice of Java Banyuwangi).

Peluncuran ekosistem ini ditandai dengan Panen Raya padi biofortifikasi di Desa Alas Malang, Kecamatan Singojuruh, pada Rabu (25/6/2025), dan dihadiri berbagai pihak yang tergabung dalam program kolaboratif tersebut.

Sunwangi merupakan beras hasil budidaya benih padi biofortifikasi yang telah ditingkatkan kandungan nutrisinya. Mengandung vitamin A, B1, B3, B9 (asam folat), B12, zat besi (Fe), dan zinc (Zn), beras ini diharapkan dapat menjadi solusi pangan untuk meningkatkan gizi masyarakat dan mendukung upaya pencegahan stunting.

“Banyuwangi bersyukur menjadi lokasi pilot project pengembangan beras biofortifikasi nasional. Inisiatif ini tidak hanya berdampak pada sektor pertanian, tapi juga menyentuh kesehatan, ekonomi lokal, dan penanggulangan kemiskinan,” ujar Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani.

Bupati Ipuk menjelaskan, Banyuwangi menargetkan perluasan lahan biofortifikasi hingga 500 hektare tahun depan.

“Harapan kami, program ini terus berkelanjutan sehingga manfaatnya dirasakan lebih luas oleh masyarakat. Selain bergizi, beras ini juga terjangkau dan ramah lingkungan,” katanya.

Produktivitas Tinggi, Gizi Lebih Baik

Sunwangi diawali dari uji coba lahan seluas 5 hektare menggunakan varietas Nutrizinc, yang memiliki kadar zat besi dan zinc 25–50 persen lebih tinggi dibandingkan padi biasa. Melihat hasil positif tersebut, Banyuwangi kemudian mengembangkan varietas lanjutan seperti IPB 9G dan IPB 15S.

Varietas unggul ini tidak hanya mengandung gizi tinggi, tetapi juga meningkatkan produktivitas pertanian secara signifikan. Jika padi biasa menghasilkan 6–7 ton per hektare, maka varietas biofortifikasi ini mampu mencapai 11 ton per hektare.

“Beras ini tidak hanya bergizi tinggi, tapi juga berdaya guna karena meningkatkan hasil panen petani,” jelas Prof. Dr. Hajrial Aswidinnoor, Guru Besar IPB dan penemu varietas biofortifikasi.

Selama proses budidaya, petani mendapatkan pendampingan dari tim teknis PAI dengan pendekatan PPAI Teknologi, yang mencakup 10 tahapan budidaya. Pendekatan ini terbukti meningkatkan efisiensi penggunaan input, ketahanan terhadap iklim, serta menekan biaya produksi.

Selain itu, sistem budidaya ini mengusung prinsip Low Carbon Agriculture—yakni pertanian rendah emisi yang ramah lingkungan dan berdampak positif terhadap kesehatan masyarakat, terutama dalam mencegah stunting pada anak-anak.

Tinggalkan Balasan