Angklung Caruk Banyuwangi Yang Hampir Punah

Pertunjukan kesenian Angklung Caruk Banyuwangi (Foto: YouTube)

Banyuwangi, suarapecari.com – Kesenian Angklung adalah kesenian khas dari Banyuwangi, para pemain nya terdiri dari 12 sampai 14 orang, instrumen musik ini terbuat dari bamboo dan memiliki empat jenis pertunjukan yaitu, angklung caruk, angklung tetak, angklung paglak dan angklung Blambangan.

Angklung Caruk

kata “caruk” berasal dari bahasa Osing yang berarti “pertemuan”. Dua kelompok bertemu dan bersaing untuk bermain angklung bersama yang disebut angklung caruk. Biasanya ada tiga kelompok penonton, satu kelompok mendukung satu kelompok angklung dan kelompok penonton lainnya mendukung kelompok kedua, kelompok ketiga adalah penonton netral.

Slamet menjelaskan, Angklung Caruk merupakan perpaduan musik angklung dari dua tim musik yang saling berhadapan. Masing-masing tim musik angklung akan bermain dengan rancak, beradu kecepatan. “Harusnya mainnya, bergantian, tapi karena emosi biasanya terus dimainkan, gak ada yang mau berhenti,” kata Slamet yang rumahnya Jalan Widuri, Gang Anggrek, Sukorejo, Kelurahan Banjarsari

“Di samping beradu musik, Angklung Caruk juga disisipi hal mistis. seperti para pemainnya ada yang tiba-tiba lemas. Para penonton juga antusias, mendukung atraksi permainan angklugnya, dan saling bersorak.” tuturnya, 

Angklung Caruk sudah mulai hilang sejak 1970-an, akibat mulai maraknya musik-musik elektone. Angklung Caruk biasa diselenggarakan saat perayaan acara pernikahan, khitanan dan bentuk undangan lainnya. “Kalau nyewa, tari Gandrung atau Angklung Caruk kan mahal. Jadi mulai banyak yang memilih elektone, karena lebih murah,” ujarnya.

Tanpa maksud menghilangkan kebudayaan asli Angklung Caruk, Slamet ingin mengenalkan dengan konsep berbeda dan mudah diterima masyarakat saat ini. “Jadi nantinya hanya tanding nada. Bagus-bagusan bermain Angklung” Kesenian yang sudah ada sejak era pendudukan Jepang tersebut juga akan dikemas dengan lebih lunak. Tidak ada lagi nuansa mistis seperti santet dalam pagelaran Angklung Caruk.

Di usianya yang sudah mencapai 75 tahun, Slamet ingin mengenalkan kesenian Banyuwangi yang sudah mulai hilang. Atau bisa dikatakan sudah tidak ada. “Jadi tujuan saya itu untuk melestarikan dan mengenalkan pada generasi muda. Sebenarnya tarian Banyuwangi itu kaya, ini tidak hanya melestarikan Angklung Caruk, melainkan juga tarian tradisional yang sudah mulai hilang “, ujar Slamet.

Slamet merupakan bekas Anggota Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) yang tergabung dalam kelompok Seni Rakyat Indonesia Muda (Sri Muda). Pada 1966, dia juga aktif di Lembaga Kesenian Nasional di bawah naungan Partai Nsional Indonesia (PNI). Setelah vakum dia melanjutkan keseniannya hingga tahun 1980-an. Dia sudah banyak menciptakan tari-tarian tradisional dari lagu-lagu rakyat Banyuwangi seperti tari Nandur Jagung Seduluran Keloron-loron Padang Mbulan Jaran Goyang Waru Doyong Jaring Kambang Layangan Pedot Nyebar Jolo Cengkir Gading Unting-unting dan Perawan Sunte. Jumlahnya ada 12 tari. (ric)