Saham “Bodong” Bukan Palsu, Michael Edy Ungkap Fakta Saham Banyuwangi di PT BSI
BANYUWANGI. Kepemilikan saham Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banyuwangi di PT Bumi Suksesindo (BSI) kembali menjadi sorotan. Wakil Ketua DPRD Banyuwangi, Michael Edy Hartono, mengajak publik memahami lebih dalam bagaimana mekanisme dividen berjalan dan sejauh mana saham tersebut benar-benar memberikan manfaat bagi daerah. Jumat (31/10/2025).
Menurut Michael, banyak pihak yang belum memahami bahwa saham yang dimiliki Pemkab Banyuwangi di perusahaan tambang emas itu bukan jenis saham yang dibeli dengan uang tunai. Ia menyebut saham tersebut diperoleh tanpa pembayaran langsung, namun dibayar melalui mekanisme pemotongan dividen setiap tahun.
“Kita memang punya saham, tapi tidak membeli dengan uang daerah. Saham itu seperti pinjaman, yang pembayarannya dicicil dari dividen yang seharusnya kita terima,” ujar Michael di Gedung DPRD Banyuwangi. Kamis (30/10/2025).
Ia menambahkan, kondisi ini membuat dividen yang diterima daerah tidak pernah benar-benar cair ke kas daerah. Sebab, keuntungan yang seharusnya diterima setiap tahun digunakan untuk membayar cicilan saham tersebut.
“Dividen itu tidak akan cair karena dipakai membayar utang. Itulah sebabnya sampai sekarang kita belum pernah benar-benar menikmati hasilnya,” katanya.
Michael juga menjelaskan istilah “saham bodong” yang pernah ia gunakan. Menurutnya, istilah itu bukan berarti saham palsu, melainkan saham yang diperoleh tanpa pembayaran langsung. Pemkab memiliki saham secara administratif, namun kepemilikannya belum lunas karena pembayarannya dilakukan lewat dividen yang seharusnya masuk ke kas daerah.
“Saham bodong bukan berarti palsu, tapi saham yang dimiliki tanpa membayar di awal. Pembayarannya dilakukan lewat dividen setiap tahun. Jadi sebenarnya kita belum benar-benar punya saham penuh,” jelasnya.
Politisi Partai Demokrat itu menilai, mekanisme ini menyebabkan daerah sulit menikmati manfaat nyata dari kepemilikan saham tersebut. Selama nilai saham meningkat, seluruh dividen otomatis terpakai untuk menutupi kewajiban pembayaran. Sebaliknya, ketika nilai saham menurun, barulah muncul potensi dividen, namun jumlahnya kecil.
“Selama saham naik, dividen kita terpakai untuk cicilan. Kalau saham turun, memang bisa dapat, tapi jumlahnya kecil karena nilainya juga ikut turun. Sudah lebih dari 12 tahun, belum ada dividen yang benar-benar kita rasakan,” ungkapnya.
Michael berharap pemerintah daerah bisa mengkaji kembali posisi saham ini agar lebih transparan dan memberikan manfaat nyata bagi masyarakat Banyuwangi.
“Kalau sahamnya mau dijual pun harus ada dasar hukumnya. Harus jelas penggunaannya dan bagaimana hasilnya bisa kembali ke rakyat,” pungkasnya.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.












