Festival Seblang Banyuwangi, Warisan Leluhur yang Terus Hidup dan Menghidupi

Seorang penari Seblang menampilkan gerakan khas melempar selendang dalam upacara adat yang berlangsung di Desa Olehsari, Banyuwangi. (Keterangan gambar foto istimewa AO)

Banyuwangi. Di balik hiruk-pikuk pariwisata dan derasnya arus modernisasi, Sebuah tarian kuno kembali menghidupkan Desa Olehsari di Kecamatan Glagah, Banyuwangi, Jawa Timur, menegaskan jati dirinya lewat gelaran budaya tahunan: Festival Seblang. Acara yang berlangsung dari tanggal 4 hingga 10 April 2025 ini tidak sekadar menjadi ajang pertunjukan seni, melainkan juga simbol komitmen warga menjaga warisan leluhur yang telah hidup puluhan tahun lamanya.

Seblang merupakan ritual sakral yang telah mengakar kuat dalam tradisi masyarakat Using di Banyuwangi. Tarian ini diyakini sebagai bentuk permohonan keselamatan dan media spiritual untuk membersihkan desa dari unsur-unsur negatif. Perhelatan ini mencerminkan sinergi antara nilai-nilai adat, spiritualitas, dan keterlibatan sosial yang masih bertahan kuat di tengah zaman yang terus bergerak.

Tarian Seblang dibawakan oleh seorang perempuan yang masih “suci” menurut adat. Dalam konteks tradisi lokal, hal ini melambangkan kemurnian hati dan kesiapan menerima energi leluhur yang diyakini merasuki sang penari selama prosesi berlangsung. Ritual diawali dengan pengantaran penari oleh para sesepuh desa, disertai lantunan doa dan tembang tradisional.

Dalam salah satu momen paling ikonik, sang penari melemparkan selendang kepada penonton. Penonton yang mendapat selendang diajak menari bersama, menjadi bagian dari dialog batin antara manusia dan dunia spiritual. Jika penari merasa cocok, interaksi bisa berlangsung lebih lama. Bahkan di akhir tarian, penari akan meminta penonton mencium tangannya sebagai bentuk penghormatan. Namun jika tidak, penari tetap menghargai penonton dan melakukan ritual pembersihan tangan dengan minyak, yang dipercaya dapat menetralisasi energi.

Festival Seblang tahun ini juga menandai keberhasilan masyarakat dalam menggabungkan pelestarian budaya dengan pemberdayaan ekonomi. Sebanyak 47 pelaku UMKM lokal ikut serta, menghadirkan produk khas daerah seperti makanan tradisional, kerajinan, dan hasil karya budaya lainnya. Data dari panitia mencatat perputaran ekonomi selama festival mencapai sekitar Rp 300 juta, dengan omzet harian rata-rata Rp 40 juta.

Kepala Desa Olehsari, Joko Mukhlis, dalam sambutannya menyebut bahwa peningkatan aktivitas ekonomi di berbagai sektor, mulai dari jasa parkir hingga penjualan suvenir, menunjukkan bahwa budaya bisa menjadi kekuatan ekonomi yang nyata. “Kami melihat antusiasme masyarakat sangat tinggi, bukan hanya dalam menjaga tradisi, tapi juga memanfaatkannya secara positif untuk meningkatkan kesejahteraan,” ujarnya. Kamis (9/4/2025)

Menurut Joko, regenerasi menjadi kunci keberlanjutan Seblang. Pemerintah desa terus mendorong keterlibatan generasi muda dalam setiap aspek pelaksanaan festival, baik sebagai bagian dari prosesi maupun dalam peran manajerial. Ia menekankan bahwa pelestarian budaya bukan hanya soal mempertahankan bentuk, tetapi juga memastikan makna dan nilai di dalamnya tetap hidup dan relevan.

Festival Seblang juga membuka ruang dialog antarbudaya. Meskipun merupakan ritual sakral, prosesi ini tetap inklusif dan terbuka untuk wisatawan. Banyak budayawan yang tertarik mempelajari makna di balik tarian dan ritual, serta ikut merasakan suasana khidmat yang menyelimuti desa selama festival berlangsung.

Dalam pandangan masyarakat agraris seperti di Olehsari, menjaga hubungan harmonis dengan alam dan leluhur merupakan bagian penting dari kehidupan. Seblang, sebagai bentuk budaya tolak bala, menjadi ekspresi spiritual yang mencerminkan kesadaran ekologis dan sosial. Tradisi ini tak hanya bertahan, tapi juga berkembang mengikuti irama zaman.

Pemerintah desa bersama Pemkab Banyuwangi dan berbagai komunitas budaya tengah merancang pengembangan festival ke skala yang lebih luas. Harapannya, Desa Olehsari yang telah dinobatkan sebagai Desa Wisata berharap Festival Seblang bisa masuk ke dalam kalender pariwisata budaya nasional, tanpa mengurangi nilai-nilai sakral yang menyertainya.

Festival Seblang 2025 menjadi bukti bahwa warisan budaya tidak hanya mampu bertahan, tetapi juga bisa menjadi fondasi untuk membangun masa depan. Di tangan masyarakat yang peduli dan adaptif, tradisi tidak menjadi beban sejarah, melainkan sumber daya yang menghidupi.