Tradisi Suro Sarat Makna, “Takir Sewu” Pawai Seribu Tumpeng Hasil Bumi Keliling Kampung di Banyuwangi
BANYUWANGI – Memasuki bulan Suro dalam penanggalan Jawa, masyarakat Banyuwangi kembali menggelar berbagai tradisi kearifan lokal. Salah satunya adalah Tradisi Takir Sewu, yang berlangsung meriah di Kampung Kedawung, Dusun Sukodadi, Desa Sraten, Kecamatan Cluring, pada Jumat (27/6/2025).
Tradisi tahunan ini dikenal masyarakat setempat dengan nama Festival Tumpeng, di mana ribuan warga bergotong royong membawa seribu tumpeng hasil pertanian untuk dikirab keliling dusun. Ragam tumpeng disuguhkan, mulai dari tumpeng agung, tumpeng ingkung, hingga tumpeng hasil bumi seperti sayuran dan buah-buahan. Beberapa tumpeng bahkan dibuat dalam ukuran raksasa setinggi dua meter, menjadi daya tarik tersendiri dalam perayaan tersebut.
Kepala Desa Sraten, Arif Rahman Mulyadi, menjelaskan bahwa tradisi ini merupakan wujud syukur warga yang mayoritas berprofesi sebagai petani.
“Tradisi ini adalah bentuk syukur atas limpahan rezeki yang telah diberikan Allah SWT kepada masyarakat kami,” ujar Arif.
Dari Ziarah Leluhur hingga Kirab Tumpeng
Sebelum festival digelar, masyarakat melakukan ritual bersih desa dan ziarah ke makam leluhur sebagai bentuk penghormatan serta permohonan doa agar diberikan keselamatan dan keberkahan.
Prosesi utama dimulai dengan kirab seribu tumpeng menuju makam leluhur. Setelah didoakan bersama, tumpeng-tumpeng tersebut dibagikan secara merata kepada warga dengan menggunakan takir, yakni wadah makanan tradisional dari daun pisang yang juga menjadi simbol kebersamaan dan kesederhanaan.
Masuk Agenda Wisata B-Fest
Wakil Bupati Banyuwangi, Mujiono, yang turut hadir dalam kegiatan tersebut mengapresiasi inisiatif warga dan menyatakan bahwa tradisi Takir Sewu kini telah masuk dalam kalender Banyuwangi Festival (B-Fest).
“Kita masukkan dalam B-Fest agar bisa dikenal lebih luas. Dengan begitu, akan banyak orang datang ke kampung ini dan tentu saja memberi dampak positif bagi perekonomian warga, terutama pelaku UMKM lokal,” ujar Mujiono.
Ia juga mengajak masyarakat untuk terus melestarikan warisan budaya yang sarat nilai kebersamaan dan spiritualitas ini.
“Budaya seperti ini harus terus kita uri-uri. Tak hanya sebagai tradisi, tapi juga sebagai sarana membangun kebersamaan dan memperkuat jati diri masyarakat,” tambahnya.


Tinggalkan Balasan Batalkan balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.