Opini

Kenapa Pendidikan Masih Bayar?

Kenapa Pendidikan Masih Bayar?

Meski pemerintah telah mencanangkan program wajib belajar Duabelas tahun yang seharusnya dibiayai penuh, kenyataannya banyak orang tua masih harus mengeluarkan biaya. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar tentang efektivitas dan transparansi alokasi dana pendidikan yang sudah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).

Pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari total APBN. Untuk tahun 2024, anggaran tersebut mencapai Rp660,8 triliun, meningkat dari Rp612,2 triliun pada tahun 2023. Alokasi ini mencakup belanja pemerintah pusat, transfer ke daerah, dan pembiayaan investasi.

Meski anggaran terus meningkat, realitas di lapangan menunjukkan adanya ketimpangan dan ketidakjelasan dalam pemanfaatan dana tersebut.

Menurut Permendiknas No. 19 Tahun 2007, setiap sekolah harus menyusun Rencana Kerja Sekolah (RKS) dan Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah (RKAS). Manajemen keuangan sekolah melibatkan perencanaan dan pelaporan yang ketat untuk memastikan dana digunakan secara efektif.

Namun, implementasi yang tidak optimal sering kali membuat dana BOS yang seharusnya mencakup berbagai kebutuhan sekolah tidak sepenuhnya dapat menutupi semua biaya operasional dan kegiatan pendidikan.

Peran komite sekolah juga sering dipertanyakan. Idealnya, komite sekolah berfungsi sebagai pemberi pertimbangan dan pendukung kebijakan pendidikan di sekolah.

Namun, dalam praktiknya, banyak komite sekolah lebih berfokus pada penggalangan dana daripada pengawasan dan pemberian saran strategis untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Akibatnya, beban biaya pendidikan sering kali tetap dibebankan kepada orang tua.

Permendikbud No. 8 Tahun 2020 mengatur penggunaan dana BOS, yang mencakup berbagai kebutuhan mulai dari penerimaan peserta didik baru hingga pembayaran honor.

Namun, persyaratan penerima dana BOS yang ketat dan proses administrasi yang rumit sering kali menghambat penyaluran dana secara merata dan tepat waktu.

Meskipun dana pendidikan dialokasikan dengan jumlah yang besar, beberapa faktor seperti birokrasi yang rumit, kurangnya transparansi, dan pengawasan yang lemah menyebabkan kebijakan tersebut tidak berjalan sesuai harapan. Akibatnya, orang tua masih harus membayar biaya pendidikan yang seharusnya sudah dibiayai oleh pemerintah.

Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan peningkatan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana pendidikan. Pengawasan yang lebih ketat dari berbagai pihak, termasuk masyarakat dan komite sekolah, sangat diperlukan untuk memastikan bahwa dana yang dialokasikan benar-benar digunakan untuk kepentingan pendidikan. Hanya dengan cara ini, tujuan mulia dari pendidikan gratis dan berkualitas untuk semua dapat benar-benar terwujud.

Artikel Opini

Penulis: Fitron Abdul Jaelani

Exit mobile version