Mahasiswa dan Tanggung Jawab Moral: Apakah Masih Layak Disebut Agent of Change?
Oleh: Ferdi Fernando Putra
Mahasiswa Politeknik Negeri Banyuwangi
Sejak era pergerakan nasional, mahasiswa selalu ditempatkan dalam posisi penting sebagai motor penggerak perubahan. Gelar agent of change atau agen perubahan menjadi predikat yang melekat pada mahasiswa karena peran historis mereka yang signifikan dalam setiap babak perjalanan bangsa. Namun, dalam konteks Indonesia saat ini, muncul pertanyaan kritis: apakah mahasiswa masih layak disebut sebagai agent of change di tengah perubahan sosial, politik, dan budaya yang semakin kompleks?
Krisis Kepedulian dan Apatisme Mahasiswa
Kondisi mahasiswa sekarang menunjukkan gejala apatisme yang mengkhawatirkan. Ruang-ruang diskusi yang dulunya menjadi pusat dialektika intelektual mulai sepi. Organisasi kampus yang dulu dikenal sebagai kawah candradimuka kepemimpinan perlahan kehilangan daya tarik. Isu kebangsaan seringkali tidak lagi menjadi perhatian utama, tergeser oleh hiruk pikuk dunia digital dan obsesi terhadap personal branding.
Hal ini memperlihatkan adanya pergeseran orientasi mahasiswa dari semangat kolektif menuju kepentingan individual. Banyak mahasiswa lebih berfokus pada pengembangan diri semata untuk kepentingan karier masa depan, bukan untuk kepentingan sosial yang lebih luas. Fenomena ini selaras dengan kritik yang disampaikan Noam Chomsky tentang pendidikan yang dikomodifikasi, di mana universitas hanya melahirkan pekerja terampil, bukan intelektual kritis.
Tanggung Jawab Moral Mahasiswa
Dalam teori fungsi sosial intelektual Antonio Gramsci, kaum intelektual termasuk mahasiswa tidak boleh berdiri netral, tetapi harus menjadi intelektual organik yang menyatu dengan masyarakat. Artinya, mahasiswa tidak hanya dituntut menjadi ahli dalam bidang akademiknya, melainkan juga memiliki kesadaran moral untuk berpihak kepada kepentingan rakyat.
Tanggung jawab moral mahasiswa adalah menjaga nurani publik. Mereka harus berani bersuara ketika ada ketidakadilan, menyuarakan aspirasi masyarakat yang terpinggirkan, dan mengawal kebijakan publik agar tetap berpihak pada rakyat. Tanpa keberanian moral ini, mahasiswa hanya akan menjadi kelompok elite kampus yang terasing dari realitas sosial.
Tantangan di Era Digital
Era digital memberikan ruang baru bagi mahasiswa untuk berperan. Media sosial membuka akses bagi penyebaran gagasan kritis dan advokasi publik yang lebih luas. Namun, tantangan besar muncul dalam bentuk aktivisme instan, di mana aksi mahasiswa hanya sebatas membuat hashtag atau membagikan postingan tanpa tindak lanjut nyata.
Padahal, teori public sphere dari Jürgen Habermas menekankan pentingnya ruang publik sebagai arena diskusi rasional yang melahirkan opini publik. Media sosial seharusnya dijadikan sarana mahasiswa untuk memperkuat nalar kritis masyarakat, bukan sekadar mengikuti tren dangkal. Perubahan sosial yang nyata membutuhkan aksi kolektif dan konsistensi, bukan sekadar respons sesaat di dunia maya.
Tanggapan Ferdi Fernando Putra
Ferdi Fernando Putra, mahasiswa Politeknik Negeri Banyuwangi, memberikan pandangannya terhadap isu ini. Menurutnya, mahasiswa tetap layak disebut sebagai agent of change, asalkan mereka menyadari kembali tanggung jawab moral yang melekat pada identitas intelektualnya.
Ferdi berpendapat bahwa mahasiswa saat ini berada di persimpangan jalan: antara memilih jalur pragmatis yang hanya mengejar gelar akademik dan pekerjaan mapan, atau tetap setia pada panggilan sejarah sebagai garda terdepan perubahan sosial.
“Mahasiswa tidak boleh terjebak dalam budaya instan yang diciptakan oleh media digital,” ujarnya. Ia menegaskan bahwa mahasiswa harus memanfaatkan teknologi untuk memperkuat gerakan, bukan melemahkan. Dalam pandangan Ferdi, teori Habermas tentang ruang publik dapat dijadikan pedoman bahwa media digital adalah arena baru yang harus diisi oleh mahasiswa dengan diskursus yang sehat dan kritis.
Lebih jauh, Ferdi menekankan bahwa mahasiswa perlu menghidupkan kembali semangat Gramsci tentang intelektual organik. Baginya, mahasiswa bukan hanya penikmat fasilitas kampus, melainkan harus turun tangan, berbaur dengan masyarakat, memahami penderitaan rakyat, dan menyuarakan kepentingannya. “Kalau mahasiswa hanya diam dan sibuk dengan dunianya sendiri, maka gelar agent of change hanya akan menjadi slogan kosong,” tambahnya.
Ferdi juga menyinggung realitas kampus di daerah, termasuk di Banyuwangi, yang seringkali lebih fokus pada pencapaian akademik teknis. Menurutnya, penting bagi mahasiswa daerah untuk membuktikan bahwa mereka juga mampu memainkan peran penting dalam wacana nasional. Mahasiswa di daerah tidak boleh merasa kecil, sebab perubahan sosial tidak hanya lahir dari ibu kota, tetapi juga dari kampus-kampus yang tersebar di seluruh Indonesia.
Kesimpulan
Pertanyaan apakah mahasiswa masih layak disebut agent of change sebenarnya adalah refleksi kritis terhadap kondisi mahasiswa hari ini. Jawaban yang muncul akan sangat bergantung pada bagaimana mahasiswa memaknai ulang peran dan tanggung jawab mereka.
Jika mahasiswa hanya menjadi penonton pasif dalam dinamika bangsa, maka predikat itu patut dipertanyakan. Namun, jika mahasiswa berani tampil sebagai intelektual organik, memanfaatkan ruang digital secara produktif, serta menjaga tanggung jawab moral terhadap masyarakat, maka gelar agent of change tetap relevan dan layak disandang.
Ferdi Fernando Putra mengingatkan bahwa sejarah bangsa ini sudah membuktikan, setiap perubahan besar selalu melibatkan mahasiswa. Kini, tinggal bagaimana mahasiswa generasi hari ini memilih peran: apakah menjadi sekadar penonton sejarah, atau pencipta sejarah baru bagi bangsa.


Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.