Mahasiswa: Mesin Perubahan atau Generasi yang Dimanjakan?
Oleh: Ferdi Fernando Putra
Mahasiswa Politeknik Negeri Banyuwangi
Mahasiswa selalu dipuji sebagai agent of change, mesin perubahan yang diyakini mampu mengguncang struktur ketidakadilan. Julukan itu bukan sekadar simbol. Sejarah mencatat, dari era pergerakan nasional hingga reformasi 1998, mahasiswa berulang kali menegaskan perannya sebagai penekan kekuasaan. Namun, kini gelar itu mulai retak. Pertanyaannya: apakah mahasiswa masih menjadi motor perubahan, atau sudah menjelma generasi yang dimanjakan oleh kenyamanan?
Fenomena di kampus-kampus hari ini menghadirkan paradoks. Ruang diskusi yang dulu menjadi medan perdebatan gagasan kini kerap sepi, digantikan aktivitas seremonial yang miskin substansi. Organisasi mahasiswa kehilangan elan perjuangan, berubah menjadi ajang gengsi dan batu loncatan menuju relasi politik. Bahkan, sebagian mahasiswa lebih sibuk menata citra diri di media sosial ketimbang menata strategi perlawanan.
Aktivisme Digital: Kritik Setengah Hati
Teknologi memberi ruang bagi mahasiswa untuk bersuara lebih cepat dan luas. Namun, di sisi lain, ia juga menciptakan jebakan. Kritik yang dahulu lahir dari mimbar bebas dan aksi jalanan kini digantikan unggahan singkat di Twitter atau Instagram. Aktivisme digital memang penting, tapi sering berhenti di permukaan: ramai sehari, lalu tenggelam dalam banjir konten. Perubahan sosial tak lahir dari hashtag semata; ia membutuhkan keberanian, konsistensi, dan kerja kolektif yang nyata.
Suara dari Mahasiswa
Ferdi Fernando Putra, mahasiswa Politeknik Negeri Banyuwangi, menilai fenomena ini sebagai alarm yang tak boleh diabaikan. “Banyak mahasiswa lebih takut mendapat nilai buruk daripada melihat ketidakadilan sosial di sekitar mereka. Padahal, inti dari mahasiswa adalah keberanian berpikir kritis dan berpihak pada rakyat,” ujarnya.
Menurut Ferdi, generasi mahasiswa hari ini menghadapi tantangan berbeda. Jika dahulu tekanan datang dari represi politik, kini tantangan justru muncul dari kenyamanan. Budaya instan membuat daya kritis mudah tumpul. “Kampus jangan sampai hanya menjadi pabrik pencetak tenaga kerja. Ia harus tetap menjadi ruang lahirnya pemimpin perubahan yang berani dan visioner,” katanya.
Generasi Praktis, Generasi Apatis
Mahasiswa generasi kini terbiasa dengan hal-hal instan. Membaca buku dianggap kuno, diskusi panjang dianggap melelahkan, dan aksi nyata dianggap mengganggu rutinitas kuliah. Pola ini melahirkan generasi praktis, bahkan apatis. Mereka cenderung mencari kenyamanan pribadi, bukan kegelisahan kolektif.
Pertanyaan menggelitik pun muncul: apakah perubahan zaman otomatis menghapus peran mahasiswa sebagai motor perubahan, atau mahasiswa sendirilah yang perlahan menanggalkan keberanian itu?
Jalan Pulang ke Akar
Sejarah membuktikan, setiap kali bangsa ini berada di persimpangan, mahasiswa selalu hadir sebagai pengingat. Namun, peran itu hanya bisa dijalankan jika mahasiswa berani kembali ke akarnya: keberanian bersuara, konsistensi berpihak pada rakyat kecil, dan tradisi intelektual yang kokoh.
Mahasiswa boleh memanfaatkan media sosial, tetapi tidak boleh meninggalkan tradisi lama: membaca, berdiskusi, meneliti, dan beraksi. Jika generasi ini terlena dalam kenyamanan, predikat agent of change hanya akan menjadi slogan kosong.
Penutup
Mahasiswa tetap bisa menjadi mesin perubahan. Syaratnya jelas: jangan membiarkan kenyamanan mematikan idealisme. Seperti ditegaskan Ferdi Fernando Putra, mahasiswa harus kembali meneguhkan jati dirinya: bukan sekadar pencari ijazah, melainkan penggerak yang mampu memberi arah bagi bangsa.
Pertanyaan terakhir masih menggantung: masihkah mahasiswa layak disebut mesin perubahan, atau sudah puas menjadi generasi yang dimanjakan?


Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.