Ketika Lidah dan Kamus Berdebat: Mengupas Tuntas Kisah Kata yang Bergeser Makna
Oleh: Ferdi Fernando Putra
Mahasiswa Politeknik Negeri Banyuwangi
Pernahkah Anda mendengar seseorang berkata, “Saya jengah dengan macet ini,” dan Anda langsung mengerti maksudnya adalah muak atau lelah? Anda merasa begitu karena kata tersebut sudah begitu akrab digunakan dalam percakapan sehari-hari. Namun, coba buka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dan Anda akan menemukan fakta yang mengejutkan. KBBI mendefinisikan jengah sebagai malu, gusar, atau tersinggung. Sontak, ada sebuah jurang yang menganga antara pemahaman umum dan makna resminya.
Fenomena ini bukan sekadar ketidaktahuan, melainkan sebuah studi kasus menarik tentang bagaimana bahasa itu hidup. Ia bukan benda statis yang terukir di batu, melainkan entitas dinamis yang terus bernapas dan berubah seiring interaksi para penggunanya. Pergeseran makna atau dalam linguistik disebut pergeseran semantik adalah bukti nyata bahwa bahasa adalah milik kita, para penuturnya, dan kamus hanyalah alat untuk merekam perjalanannya, bukan untuk mengaturnya secara mutlak.
Kisah ‘Jengah’: Antara Malu dan Lelah
Penggunaan kata jengah sebagai pengganti bosan atau lelah begitu meluas, terutama di kalangan generasi muda dan media sosial. Kita sering menemukan kalimat seperti, “Jengah mendengarkan drama yang tidak ada habisnya,” atau “Jengah melihat ketidakadilan.” Dalam konteks ini, makna yang tersirat adalah kebosanan tingkat tinggi, kejenuhan yang mendalam.
Namun, makna asli KBBI jauh lebih emosional dan personal. Kata jengah merujuk pada perasaan yang sangat spesifik: ketidaknyamanan karena malu atau gusar. Contoh penggunaan yang sesuai KBBI adalah, “Ia jengah saat namanya disebut di depan umum karena kesalahan yang dibuatnya,” atau “Perasaannya jengah setelah tahu semua orang menertawakan penampilannya.”
Perbedaan ini bukan hanya minor, tetapi fundamental. Seperti yang dikemukakan Kridalaksana (2008) dalam Kamus Linguistik, makna sebuah kata dapat mengalami “perluasan” atau “penyempitan” sesuai dengan konteks sosial. Kasus jengah menunjukkan perluasan makna dari konteks malu/gusar ke wilayah lelah/jenuh.
Mengapa Pergeseran Makna Terjadi?
Pergeseran makna adalah proses alami. Setidaknya ada tiga faktor utama yang mendorongnya:
1. Konteks sosial. Sebuah kata bisa mendapatkan makna baru karena sering digunakan dalam konteks tertentu. Jengah yang awalnya bermakna “malu” sering dipasangkan dengan ekspresi lelah, sehingga lambat laun maknanya pun ikut bergeser.
2. Penggunaan informal. Di era komunikasi digital dan media sosial, bahasa menjadi lebih cair. Kata-kata ringkas dan ekspresif sering dipilih untuk menyampaikan makna, walau berbeda dari kamus.
3. Pola pikir masyarakat. Menurut Chaer (2015) dalam Linguistik Umum, bahasa selalu bergerak mengikuti pemakainya. Jika mayoritas sudah menyepakati makna baru, lambat laun kamus akan menyesuaikan.
Seperti ditegaskan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (2022), kamus adalah cermin bahasa, bukan pengendali bahasa. Ia merekam fakta pemakaian, bukan menciptakan aturan absolut.
Dari ‘Saksama’ Hingga ‘Seringai’: Studi Kasus yang Menggugah
Fenomena jengah hanyalah satu contoh. Ada banyak kata lain yang mengalami pergeseran:
* Saksama. Di KBBI berarti teliti dan cermat. Namun, banyak orang menyalahgunakan dengan makna “segera/cepat.”
* Seringai. Resminya berarti senyum mengejek, namun sering dipahami sebagai senyum lebar atau tawa gembira.
* Abai. Di KBBI berarti lalai atau tidak peduli. Tetapi dalam praktik sehari-hari sering digunakan sebagai kata kerja, seperti “Dia mengabai saya.”
Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa bahasa Indonesia hidup dalam tarik-menarik antara aturan resmi dan pemakaian publik.
Ferdi Fernando Putra mengatakan:Bahasa sebagai Identitas Dinamis
Ferdi Fernando Putra, mahasiswa Agribisnis Politeknik Negeri Banyuwangi sekaligus aktivis organisasi mahasiswa, menyoroti bahwa pergeseran makna ini mencerminkan fleksibilitas identitas bangsa.
Menurutnya:
“Bahasa Indonesia akan terus bergerak bersama zaman. Pergeseran makna kata seperti jengah, abai, atau seringai bukan sekadar kesalahan, tetapi tanda bahwa masyarakat mencoba mencari padanan emosi baru yang lebih dekat dengan realitas sosialnya. Namun, kita juga perlu menjaga keseimbangan: jangan sampai kreativitas berbahasa mengikis presisi dalam dunia akademis dan hukum. Jadi, memahami KBBI dan realitas lisan adalah dua sisi yang harus sama-sama kita hormati.”
Pernyataan ini memperkuat gagasan bahwa bahasa adalah ruang negosiasi antara presisi akademis dan kebebasan ekspresif.
Sebuah Ajakan untuk Berbahasa Secara Cerdas
Memahami perbedaan ini bukan untuk menghakimi cara kita berbicara atau melabeli orang lain “tidak benar.” Sebaliknya, ini adalah ajakan untuk lebih peka terhadap kekayaan bahasa kita.
Kamus adalah fondasi ia penting dalam komunikasi formal, penulisan akademis, atau saat membutuhkan presisi. Namun, bahasa lisan adalah ruang bebas di mana kita bisa berekspresi secara luwes.
Seperti kata Alwasilah (2012), bahasa adalah “cermin budaya sekaligus alat perubahan sosial.” Maka, setiap kata yang kita gunakan adalah bagian dari cerita lebih besar tentang bagaimana bahasa Indonesia terus berevolusi.
Referensi:
- Alwasilah, A. Chaedar. (2012). Pokoknya Bahasa: Peran dan Fungsi Bahasa dalam Kehidupan Manusia. Bandung: Kiblat.
- Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. (2022). KBBI V Daring. Jakarta: Kemendikbudristek.
- Chaer, Abdul. (2015). Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
- Kridalaksana, Harimurti. (2008). Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.


Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.