Banyuwangi Ukir Nama di Kancah Internasional Berkat Pendidikan Inklusif: Transformasi Sistemik dan Tantangan ke Depan

BANYUWANGI – Lebih dari sekadar pengakuan, apresiasi dari lembaga pendidikan internasional seperti Global Village Foundation dan Perkins International terhadap komitmen Banyuwangi dalam pendidikan inklusif menandai babak baru bagi daerah yang terletak di ujung timur Pulau Jawa ini. Bukan hanya soal angka atau program, tapi juga sebuah transformasi sistemik yang berupaya meruntuhkan tembok diskriminasi dan memberikan kesempatan setara bagi penyandang disabilitas.

Acara “Aktualisasi Sekolah Luar Biasa sebagai Pusat Sumber untuk Mendukung Banyuwangi Lebih Inklusif” yang berlangsung di Pendopo Sabha Swagatha Blambangan pada Selasa (25/2/2025) menjadi momentum penting. Kehadiran tokoh-tokoh seperti Founder Global Village Foundation Andy Bracey, Perwakilan Perkins International Chenmin Parera, serta Menteri PAN RB periode 2022-2024 Abdullah Azwar Anas, menegaskan betapa isu inklusi kini menjadi perhatian serius di tingkat global dan nasional.

Sejak 2021, Global Village Foundation konsisten memberikan dukungan untuk penguatan program inklusif di Banyuwangi. Antara lain pemberian ratusan kursi roda bagi penyandang disabilitas di Banyuwangi. “Kami sudah berkeliling ke berbagai wilayah. Sejauh ini, saya tempatkan Banyuwangi di posisi teratas sebagai daerah yang banyak menggulirkan program pro difabel,” ujarnya.

Apresiasi juga datang dari Perkins International sebuah lembaga yang konsisten menyokong program-program inklusivitas di Banyuwangi. Di antaranya, melalui berbagai pelatihan bagi para guru Sekolah Luar Biasa (SLB) dan orang tua penyandang disabilitas. Misalnya, pelatihan komunikasi hingga cara penanganan disabilitas.

“Kami sangat melihat keseriusan Banyuwangi memberikan dukungan luar biasa kepada anak-anak, khususnya penyandang disabilitas, guna mengakses pendidikan yang berkualitas. Maka, kami selama ini mendukung diwujudkannya lingkungan yang inklusif agar anak-anak berkebutuhan khusus bisa berpartisipasi mengembangkan nilai-nilainya dalam masyarakat,” kata Perwakilan Perkins International, Chenmin Parera.

Apresiasi ini bukan datang tiba-tiba. Sejak tahun 2014, Banyuwangi secara konsisten menginvestasikan sumber daya dalam membangun sistem pendidikan yang inklusif. Dimulai dari program sekolah inklusi yang kini mencakup 162 lembaga dari SD hingga SMP, Banyuwangi tak hanya berfokus pada infrastruktur fisik, tetapi juga pengembangan sumber daya manusia.

“Kami menyiapkan sekolah inklusi yang ramah difabel, mulai dari infrastruktur hingga sumber daya manusianya,” tegas Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani. Pernyataan ini bukan sekadar retorika. Banyuwangi telah menyiapkan 250 guru pendamping khusus yang disebar di berbagai sekolah inklusi untuk mendampingi 1.147 peserta didik berkebutuhan khusus.

Lebih jauh lagi, komitmen Banyuwangi tercermin dalam upaya memberikan kesempatan kerja kepada penyandang disabilitas. Setiap job fair selalu dibuka lowongan khusus, bahkan pemerintah daerah membuka peluang bagi penyandang disabilitas untuk menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Ini adalah langkah nyata untuk mengubah paradigma bahwa penyandang disabilitas adalah kelompok yang hanya membutuhkan bantuan, menjadi individu yang memiliki potensi dan kontribusi bagi masyarakat.

Meski demikian, tantangan masih membentang di depan mata. Pendidikan inklusif bukan hanya tentang menerima penyandang disabilitas di sekolah umum, tetapi juga tentang mengubah pola pikir dan perilaku masyarakat secara keseluruhan. Stigma dan diskriminasi masih menjadi penghalang utama bagi penyandang disabilitas untuk berpartisipasi penuh dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik.

“Banyuwangi mencurahkan perhatian serius untuk pendidikan inklusi. Kami berharap perkembangan yang dilakukan Banyuwangi bisa dicontoh oleh kabupaten lain di Jatim bahkan di seluruh Indonesia,” ujar Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur, Aries Agung. Harapan ini mencerminkan betapa pentingnya peran Banyuwangi sebagai model bagi daerah lain dalam mewujudkan pendidikan inklusif.

Namun, keberhasilan Banyuwangi tidak boleh membuat terlena. Pemerintah daerah, lembaga pendidikan, organisasi masyarakat sipil, dan seluruh elemen masyarakat harus terus berkolaborasi untuk menciptakan ekosistem inklusif yang sesungguhnya. Mulai dari penyediaan aksesibilitas fisik dan informasi, hingga perubahan budaya yang menghargai keberagaman dan menghormati hak-hak penyandang disabilitas.

Apresiasi internasional yang diraih Banyuwangi adalah momentum untuk terus berbenah dan berinovasi. Pendidikan inklusif bukan hanya tentang memberikan kesempatan bagi penyandang disabilitas, tetapi juga tentang membangun masyarakat yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan bagi semua. Banyuwangi telah menunjukkan bahwa dengan komitmen, inovasi, dan kolaborasi, impian itu bisa diwujudkan.