Sumpah Pemuda, Momentum Menegakkan Moral dan Etika Hukum Bangsa

aktivis hukum Universitas Battuta, Abdul Halil, S.E., S.H.,

MEDAN, SUMUT — Momentum peringatan Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2025 dijadikan refleksi oleh aktivis hukum Universitas Battuta, Abdul Halil, S.E., S.H., untuk menyerukan pentingnya menghidupkan kembali semangat persatuan pemuda 1928 dalam konteks penegakan hukum dan moral kebangsaan di era modern.

Menurutnya, makna Sumpah Pemuda tidak boleh hanya berhenti pada simbol sejarah, tetapi harus dijadikan pijakan dalam memperkuat supremasi hukum dan etika publik di tengah tantangan zaman.

“Sumpah Pemuda bukan hanya ikrar politik, tetapi kontrak sosial dan moral yang harus diaktualisasikan dalam setiap perilaku aparatur negara dan warga negara,” ujar Abdul Halil saat berbincang dengan awak media, Selasa (28/10).

Abdul Halil menegaskan bahwa bangsa yang besar tidak hanya berdiri di atas kemerdekaan fisik, tetapi juga pada tertib hukum dan kesadaran moral yang tumbuh dari generasi mudanya.
Ia menilai, pemuda masa kini dihadapkan pada tantangan kompleks seperti degradasi moral digital, lemahnya integritas publik, hingga kaburnya batas antara kepentingan pribadi dan kepentingan negara.

“Hukum harus menjadi tameng moral bangsa, bukan alat legitimasi kekuasaan,” tegasnya.

Lebih jauh, Abdul Halil menguraikan bahwa semangat “bertumpah darah satu, berbangsa satu, berbahasa satu” memiliki makna filosofis mendalam: hukum nasional seharusnya menjadi identitas bersama yang mengikat tanpa memandang latar sosial, ekonomi, atau politik.

“Keadilan tidak boleh terfragmentasi oleh kepentingan kelompok. Ketika hukum tunduk pada kekuasaan, maka Sumpah Pemuda kehilangan makna substansialnya,” ujarnya.

Ia juga menyoroti lemahnya konsistensi penegakan hukum di berbagai daerah yang kerap diwarnai intervensi politik dan kompromi kepentingan. Dalam konteks itu, ia menyerukan agar penegak hukum, ASN, dan pejabat publik menjadikan semangat Sumpah Pemuda sebagai azas etik dalam menjalankan tugas kenegaraan.

“Negara hukum tidak dapat berdiri di atas kompromi moral. Integritas adalah mata uang tertinggi dalam birokrasi,” tutur Abdul Halil.

Aktivis hukum tersebut juga mengingatkan generasi muda di bidang hukum agar memahami profesinya bukan sekadar karier, melainkan amanah konstitusional.
Menurutnya, advokat, jaksa, hakim, dan notaris adalah manifestasi nilai-nilai hukum yang hidup di tengah masyarakat.

“Jika mereka mengkhianati sumpah profesinya, maka mereka sesungguhnya mengkhianati Sumpah Pemuda itu sendiri,” tegasnya lagi.

Dalam penutup pesannya, Abdul Halil mengutip asas hukum fiat justitia ruat caelum — “biarlah keadilan ditegakkan walau langit runtuh” — sebagai simbol idealisme hukum yang harus terus dijaga di tengah arus pragmatisme.

“Bangsa ini tidak boleh lagi mentolerir kebohongan, penyimpangan hukum, dan pelanggaran etika yang dibungkus jargon nasionalisme. Sumpah Pemuda adalah janji suci untuk meletakkan kebenaran di atas segala kepentingan,” ujarnya.

Ia pun mengajak seluruh pemuda Indonesia menjadikan peringatan Sumpah Pemuda 2025 sebagai momentum untuk menata kembali moral hukum dan karakter kebangsaan.

“Pemuda Indonesia harus menjadi benteng terakhir supremasi hukum dan penjaga nalar kebangsaan. Sebab tanpa hukum yang adil dan moral yang tegak, persatuan hanyalah retorika tanpa substansi,” pungkas Abdul Halil.