Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Juga Keluarkan Surat Keterangan Tidak Pernah Menjadi Terpidana untuk Yusril Ihza Mahendra

skck yusril ihza mahendra

Suara Pecari, Jakarta – Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir, telah mengurus surat keterangan yang menyatakan bahwa ia tidak pernah menjadi terpidana di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Namun, tak disangka bahwa beberapa tokoh politik ternama juga mengajukan permohonan yang serupa.

Terdapat nama-nama seperti Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB), Yusril Ihza Mahendra, Bakal Calon Presiden Anies Baswedan, dan Bakal Calon Wakil Presiden Muhaimin Iskandar yang juga mengurus surat keterangan serupa. Surat ini diperlukan sebagai syarat untuk mencalonkan diri dalam Pemilihan Presiden 2024.

Djuyamto, Juru Bicara Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, mengonfirmasi penerbitan surat keterangan tersebut kepada wartawan. Surat keterangan tersebut dikeluarkan berdasarkan permohonan yang diajukan oleh para pemohon, yaitu Yusril Ihza Mahendra, Erick Thohir, Anies Baswedan, dan A. Muhaimin Iskandar. Dokumen ini diterbitkan untuk keperluan persyaratan pendaftaran Pilpres.

“Surat keterangan tersebut telah dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sesuai permohonan yang diajukan oleh para pemohon yang telah saya sebutkan sebelumnya untuk keperluan persyaratan pendaftaran Pilpres,” jelas Djuyamto, 18 Oktober 2023.

Sebelumnya, Menteri BUMN, Erick Thohir, mengurus surat keterangan yang menyatakan bahwa ia tidak pernah menjadi terpidana sebagai persyaratan pencalonan dalam Pilpres 2024. Erick Thohir diajukan oleh Partai Amanat Nasional (PAN) sebagai calon wakil presiden (cawapres) yang akan mendampingi Prabowo Subianto sebagai calon presiden (capres).

Surat keterangan ini menyatakan, “Berdasarkan hasil pemeriksaan register induk pidana, yang bersangkutan tidak sedang, tidak pernah menjadi terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.”

Jakarta, – Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, telah mengumumkan bahwa sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronika (ITE) akan direvisi, 18 Juni 2021. Perubahan tersebut bertujuan untuk mencapai keseimbangan yang lebih baik dalam penerapan UU ITE. Beberapa perubahan utama mencakup:

  1. Konten Asusila: Revisi akan mengklarifikasi bahwa orang yang dapat dijerat oleh Pasal 27 ayat 1 UU ITE yang melarang konten asusila adalah mereka yang menyebarkannya, bukan pembuatnya. Artinya, pembuat konten asusila seperti video porno tidak akan dijerat oleh UU ITE, asalkan mereka tidak berniat menyebarkannya.
  2. Pencemaran Nama Baik dan Fitnah: Usulan revisi akan membedakan norma antara pencemaran nama baik dan fitnah. Ancaman pidana untuk pencemaran nama baik akan diturunkan dari 4 tahun menjadi 2 tahun, sementara ancaman pidana untuk fitnah tetap 4 tahun.
  3. Delik Aduan: Revisi akan mengubah UU ITE menjadi delik aduan, sehingga hanya korban yang dapat melaporkan tindakan pidana. Orang yang merasa dicemarkan atau difitnah hanya dapat melaporkan pelaku secara pribadi atau melalui kuasa hukum yang ditunjuk secara tertulis. Badan hukum juga dapat membuat laporan pencemaran atau fitnah, tetapi pelaku yang dilaporkan adalah individu, bukan badan hukum.

Mahfud MD memastikan bahwa UU ITE tidak akan dicabut, menggambarkannya sebagai “bunuh diri” jika itu terjadi. Pemerintah telah melibatkan berbagai pihak dalam diskusi, termasuk akademisi, praktisi hukum, LSM, korban UU ITE, pelapor UU ITE, politisi, dan jurnalis, untuk merumuskan revisi yang tepat. Revisi yang direncanakan akan lebih bersifat semantik dalam redaksional, tetapi juga bersifat substantif dalam uraian-uraian pasal yang relevan.

Dengan perubahan ini, pemerintah berharap mencapai keseimbangan yang lebih baik antara perlindungan hak individu dan kebebasan berekspresi dalam dunia digital, sambil tetap menjaga tindakan kriminalitas yang sebenarnya. Langkah ini mengikuti diskusi yang panjang dan mendalam untuk merespons kritik terhadap penerapan UU ITE yang dianggap membatasi kebebasan berbicara dan berekspresi.