RUU KUHAP Tuai Kritik, Praktisi Hukum Khawatir Kewenangan Jaksa Berlebihan dan Ancam Independensi Polri
MEDAN – Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terkait kewenangan lembaga penegak hukum di Indonesia (dominus litis) menuai sorotan tajam dari berbagai kalangan. Beberapa pasal dalam RUU KUHAP dinilai berpotensi menimbulkan polemik dan tumpang tindih kewenangan, sehingga mengancam kepastian penegakan hukum.
Menanggapi situasi ini, sejumlah advokat, dosen, dan mahasiswa hukum membentuk wadah bernama Gabungan Praktisi Peduli Hukum (GPPH) NKRI, yang didasari oleh rasa empati terhadap dunia penegakan hukum di Indonesia. Ketua Panitia Focus Group Discussion (FGD) RUU KUHAP terkait kewenangan lembaga penegak hukum di Indonesia, Famati Gulo SH, MH, menjelaskan bahwa GPPH NKRI dibentuk untuk mengawal proses pembahasan RUU KUHAP agar tidak merugikan kepentingan masyarakat dan negara.
“Hal yang paling berbahaya ketika jaksa mendapat kewenangan sebagai penyidik merangkap penuntut, dikhawatirkan terjadinya kewenangan yang berlebih. Sebaiknya polisi difokuskan sebagai penyidik dan jaksa sebagai penuntut sehingga dapat tercipta keseimbangan,” jelas Famati Gulo saat FGD di Medan, Kamis (13/2/2025).
Assoc. Prof. Faisal SH, MHUm, Dekan FH UMSU, dalam pemaparannya menyatakan bahwa carut marutnya penegakan hukum di Indonesia disebabkan karena tidak adanya peradaban hukum. Ia menilai RUU KUHAP saat ini nyaris tidak memiliki spirit peradaban hukum. “Penegakan hukum kita ini tidak beradab karena tidak punya akhlak dan etika. Karena yang membuat peraturan perundang-undangan sesuka hatinya,” ungkapnya.
Sekretaris Prodi Magister Ilmu Hukum USU, Dr. Mahmud Mulyadi, SH, MHum, menekankan perlunya RUU KUHAP mempertegas hukum. Ia juga menyoroti pentingnya pemungsian kembali asas diferensiasi dan saling menghormati dalam satu tujuan penegakan hukum. “Intinya, Criminal Justice System (CJS) yang integrasi keharmonisan bekerja dalam bingkai lembaga masing-masing tapi ada satu koordinasi dengan visi bersama penegakan hukum. Sehingga penegakan hukum mindset-nya tidak hanya menghukum orang, tapi bagaimana mengedepankan hak-hak tersangka dan korban. Mindset ke depan tidak lagi pada pola pemidanaan. Sehingga mengurangi over kapasitas,” jelas Dr. Mahmud Mulyadi.
Salah seorang peserta FGD, Andronikus Bidaya, SH, MH, menanyakan mengenai dampak positif dan negatif jika Jaksa menjadi penyidik pidana umum. Menjawab pertanyaan tersebut, Dr. Mahmud Mulyadi mengatakan bahwa sisi negatifnya adalah dapat memberikan jaksa kewenangan penuh atas suatu perkara dan akan rentan terhadap penyalahgunaan wewenang. Ia menegaskan bahwa polisi seharusnya diperkuat sebagai pelaksana penyidikan, dan jaksa fokus untuk penuntutan. “Intinya, kita tidak setuju jika Jaksa diberi perluasan kewenangan mengambil alih penyidikan,” tegasnya.

