kriminal

Korban Kasus TPPO Jual Beli Ginjal ke Kamboja Mengaku Kesulitan Ekonomi: Mayoritas Korban Kehilangan Pekerjaan Akibat Pandemi

Guru hingga Lulusan S2 Kampus Top Jadi Korban Jual Ginjal

Suara Pecari, Jakarta – Kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang terkait dengan penjualan ginjal ke Kamboja menimbulkan keprihatinan. Dalam pengungkapan kasus tersebut, Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Kombes Hengki Haryadi, menyatakan bahwa sebagian korban jual beli ginjal ke Kamboja ini karena mengalami kesulitan ekonomi akibat dampak pandemi COVID-19, yang menyebabkan sebagian besar dari mereka kehilangan pekerjaan.

Hengki Haryadi melaporkan bahwa korban dalam kasus ini berasal dari berbagai profesi dan latar belakang pendidikan. Para calon pendonor ginjal ini memiliki pekerjaan dari pedagang, guru privat, hingga buruh dan sekuriti. Bahkan, terdapat calon pendonor yang merupakan lulusan S2 dari universitas ternama di Indonesia.

“Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa sebagian korban memiliki motif ekonomi sebagai akibat dari Pandemi, di mana sebagian besar dari mereka kehilangan pekerjaan. Profesi korban meliputi pedagang, guru privat, dan ada juga yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi, seperti lulusan S2 dari universitas ternama,” ungkap Hengki, Kamis (20/7/2023).

Kasus perdagangan organ ginjal ini terjadi di Kamboja, di mana para warga negara Indonesia (WNI) yang menjadi korban TPPO tersebut juga menjalani operasi pengangkatan ginjal di negara tersebut.

Hengki juga mengungkapkan bahwa sudah ada belasan orang yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus jual beli ginjal ke Kamboja ini. Lebih menyedihkan lagi, mayoritas dari para tersangka sebelumnya juga merupakan korban perdagangan organ tubuh.

“Dalam operasi ini, tim gabungan Polda Metro Jaya di bawah asistensi Dittipidum telah menetapkan 12 tersangka. Dari 12 tersangka ini, 10 di antaranya bagian dari sindikat, di mana 9 dari mereka adalah mantan pendonor,” jelas Hengki.

Para tersangka memiliki peran yang beragam dalam sindikat ini, mulai dari menghubungkan tersangka di Indonesia dan Kamboja, melayani dan menghubungkan dengan rumah sakit di Kamboja, menjemput korban, hingga mengurus paspor korban.

Dalam kasus ini, ada dua oknum aparat yang juga ditetapkan sebagai tersangka, yaitu oknum anggota Polri berinisial Aipda M dan oknum anggota imigrasi berinisial AH. Hengki menjelaskan bahwa Aipda M merintangi proses penyidikan dengan membuang HP dan berpindah tempat untuk menghindari pengejaran dari pihak kepolisian. Dia juga menerima uang sebesar Rp 612 juta dari para pelaku untuk menyatakan bahwa kasus tersebut tidak akan dilanjutkan.

Sementara itu, oknum anggota imigrasi berinisial AH dikenai Pasal 2 dan juncto Pasal 8 UU 21/2007, yang berarti setiap penyelenggara negara menyalahgunakan kekuasaan yang menyebabkan TPPO. AH menerima pembayaran sebesar Rp 3.200.000 hingga Rp 3.500.000 per kepala dari para calon pendonor yang berangkat dari Bali.

Kasus ini terus dalam penyelidikan lebih lanjut untuk mengungkap jaringan TPPO yang lebih luas dan memberikan keadilan bagi para korban yang terlibat. Pihak berwenang berharap dapat menemukan solusi untuk mengatasi permasalahan perdagangan organ ilegal ini dan melindungi masyarakat dari tindakan kriminal semacam ini.

Exit mobile version