Berita

Tahu Kalau Kita Tidak Tahu

Paradoks Sokrates, Tau Kalau Dirinya Tidak Tau

Di tengah derasnya arus informasi dan teknologi yang semakin canggih, manusia modern seringkali terjebak dalam ilusi bahwa kita merasa mengetahui segala sesuatu. didukung dengan ketersediaan informasi yang ada di ujung jari kita, melalui internet dan media sosial seakan memberi kesan bahwa kita dapat mengakses seluruh pengetahuan yang ada. Namun, di balik aksesibilitas ini, ada kenyataan yang sering dilupakan: semakin banyak yang kita ketahui, semakin jelas batasan-batasan pengetahuan kita. Di sinilah muncul konsep terpenting dari diri kita, yaitu: “kita tahu kalau kita tidak tahu”— sebuah pengakuan tentang ketidaktahuan yang justru membawa kita pada kebijaksanaan sejati.

Filsuf Yunani terkenal, Socrates, adalah salah satu yang pertama kali mengungkapkan konsep tentang kesadaran akan ketidaktahuan. Dalam salah satu kutipannya yang paling terkenal, ia berkata, “Saya hanya tahu satu hal, yaitu bahwa saya tidak tahu apa-apa.” Ungkapan ini bukan sekadar refleksi pribadi, melainkan suatu prinsip mendasar dalam pencarian kebijaksanaan. Socrates menegaskan bahwa mengakui ketidaktahuan adalah titik awal dari perjalanan untuk mencari kebenaran dan memahami dunia.

Ketika seseorang menyadari bahwa ia tidak mengetahui sesuatu, ia menjadi terbuka untuk belajar, mendengarkan, dan menerima wawasan dari orang lain. Ketidaktahuan yang diakui secara jujur membuka pintu untuk mengeksplorasi hal-hal baru dan mempertanyakan asumsi yang selama ini kita pegang. Sebaliknya, mereka yang merasa sudah mengetahui segalanya cenderung menutup diri dari peluang untuk berkembang. Mereka terjebak dalam kenyamanan keyakinan mereka sendiri dan, ironisnya, sering kali malah menjadi semakin jauh dari kebenaran.

Ada sebuah paradoks dalam perjalanan pengetahuan manusia: semakin banyak kita belajar, semakin kita menyadari betapa luasnya alam semesta pengetahuan yang belum kita pahami. Seperti saat seseorang mempelajari sebuah topik yang baru, pada awalnya mungkin tampak sederhana dan jelas. Namun, semakin dalam ia menggali, semakin kompleks dan penuh materi dalam topik tersebut. Dari sini, timbul kesadaran bahwa pengetahuan tidak bersifat absolut, melainkan dinamis, terus berkembang, dan sering kali relatif terhadap konteks dan sudut pandang pemikiran manusia.

kita Ambil contoh dalam dunia sains. Ilmuwan selalu berada dalam ketegangan antara apa yang mereka ketahui dan apa yang masih menjadi misteri. Setiap kali mereka menemukan jawaban atas satu pertanyaan, sepuluh pertanyaan baru muncul. Fenomena ini dikenal sebagai “horizon pengetahuan”, di mana batas antara yang diketahui dan yang tidak diketahui terus bergerak maju. Kesadaran akan ketidaktahuan inilah yang mendorong penelitian ilmiah, inovasi, dan pencapaian-pencapaian besar dalam sejarah peradaban manusia.

Mengakui bahwa kita tidak tahu segalanya juga merupakan cerminan dari kerendahan hati. Di tengah masyarakat yang sering kali mengagungkan kesuksesan dan kecakapan, kerendahan hati intelektual dapat terasa seperti kelemahan. Namun, kerendahan hati ini justru merupakan kekuatan yang luar biasa. Seseorang yang rendah hati dalam pengetahuan tidak terjebak dalam kebutuhan untuk selalu benar, melainkan terbuka terhadap kritik, saran, dan perspektif baru.

Dalam interaksi sehari-hari, sikap “tahu kalau kita tidak tahu” memungkinkan kita menjadi pendengar yang lebih baik. Ketika kita tidak merasa perlu untuk selalu memberikan jawaban, kita bisa lebih fokus mendengarkan dan memahami sudut pandang orang lain. Sikap ini juga menghindarkan kita dari konflik yang tidak perlu, karena kita tidak terjebak dalam debat yang memaksakan kebenaran versi kita sendiri. Sebaliknya, kita lebih bersedia untuk belajar dari orang lain, yang pada akhirnya memperkaya pandangan kita tentang dunia.

Namun, di zaman modern ini, di mana informasi begitu mudah diakses, mengakui ketidaktahuan bisa menjadi tantangan tersendiri. Ada tekanan sosial dimana kita dituntut untuk selalu terlihat tahu, pintar, dan terinformasi, baik di lingkungan kerja, pendidikan, maupun di media sosial. Kita sering kali merasa malu atau takut dihakimi jika tidak tahu sesuatu, sehingga cenderung menutupi ketidaktahuan dengan berlagak seolah-olah tahu.

Paradoksnya, justru di tengah banjir informasi inilah ketidaktahuan kita semakin nyata. Banyaknya informasi yang kita dapatkan, tidak selalu berarti pemahaman kita menjadi lebih baik. Terlalu banyak informasi justru dapat menimbulkan overload, akan ada pertanyaan pertanyan baru yang hadir dalam benak kita dan membuat kita kesulitan untuk memilah mana yang benar dan relevan. Di sinilah pentingnya sikap “tau kalau dirinya tidak tau”. Dengan sikap ini, kita dapat lebih selektif, kritis, dan fokus pada hal-hal yang benar-benar penting untuk dipelajari, tanpa terbebani oleh ilusi pengetahuan yang palsu.

Dalam kehidupan sehari-hari, sering kali kita merasa terjebak dalam keharusan untuk selalu tahu dan memahami segala sesuatu. Tekanan sosial, tuntutan pekerjaan, dan ekspektasi dari orang di sekitar kita membuat kita merasa harus selalu siap memberikan jawaban. Namun, kenyataannya, tidak ada yang mengetahui segala hal. Justru kesadaran akan ketidaktahuan dapat menjadi pintu untuk pengembangan diri yang lebih baik. Mengakui bahwa kita tidak tahu segalanya bukanlah tanda kelemahan, melainkan bentuk keberanian intelektual yang membuka jalan menuju pembelajaran dan pertumbuhan yang lebih dalam.

kita perlu membangun kesadaran ini dalam kehidupan sehari-hari seperti dalam percakapan dengan lawan bicara, sering kali kita terlalu sibuk memikirkan apa yang akan kita katakan berikutnya, daripada benar-benar mendengarkan apa yang sedang disampaikan oleh lawan bicara kita. Padahal, mendengarkan secara aktif adalah salah satu keterampilan paling mendasar namun paling sering diabaikan. Dengan mendengarkan, kita memberi diri kita kesempatan untuk belajar dari pengalaman, sudut pandang, dan pemahaman orang lain. Ini juga memungkinkan kita untuk menghargai perspektif yang berbeda dan memperkaya cara pandang kita terhadap suatu masalah. Saat kita mendengarkan dengan saksama, kita juga lebih mampu menyerap informasi baru dan memahami hal-hal yang mungkin sebelumnya kita abaikan.

Disisi Lain, sifat manusia kebanyakan tidak ada yang suka dikritik, jarang bisa dimengerti bahwsanya kritik yang membangun adalah salah satu cara terbaik untuk berkembang. tanpa kita sadari kalau kita cenderung defensif ketika mendapatkan sebuah kritik, padahal umpan balik dari orang lain adalah cermin yang membantu kita melihat hal-hal yang mungkin tidak kita sadari. Terbuka terhadap saran dan kritik menunjukkan bahwa kita tidak terjebak dalam ego, tetapi siap untuk memperbaiki diri. Dengan menerima bahwa kita tidak sempurna dan selalu ada ruang untuk berkembang, kita dapat lebih fleksibel dalam mengatasi tantangan dan lebih siap menghadapi perubahan.

Dunia terus berkembang sementara pengetahuan yang kita miliki hari ini mungkin menjadi usang dalam waktu singkat. Itulah sebabnya penting untuk mengembangkan sikap untuk tetap terus belajar seumur hidup. Ketidaktahuan bukanlah sesuatu yang harus ditakuti, tetapi dianggap sebagai bagian dari proses pembelajaran. Selalu ada kesempatan untuk memperluas wawasan, baik melalui membaca, mengikuti pelatihan, atau sekadar berdiskusi dengan orang dari latar belakang yang berbeda. Orang-orang yang memiliki mentalitas terbuka dan belajar seumur hidup cenderung lebih kreatif, adaptif, dan mampu menghadapi tantangan dengan cara yang lebih inovatif. Mereka tidak takut untuk mengakui bahwa mereka tidak tahu segalanya, karena bagi mereka, ketidaktahuan hanyalah langkah awal menuju pemahaman yang lebih dalam.

Ada sebuah kebiasaan yang tertanam di masyarakat kita bahwa mengakui ketidaktahuan adalah tanda kelemahan atau ketidakmampuan. Namun, kenyataannya adalah, tidak ada yang mengetahui segala hal, dan mencoba berpura-pura tahu hanya akan merusak integritas kita. Mengatakan “saya tidak tahu” bukanlah tanda kegagalan, melainkan menunjukkan kejujuran dan keterbukaan untuk belajar. Orang lain sering kali lebih menghargai seseorang yang jujur dengan keterbatasannya daripada seseorang yang berpura-pura tahu. Dengan berani mengakui bahwa kita tidak tahu, kita membuka pintu bagi diri kita untuk bertanya, mencari tahu, dan akhirnya memperluas pengetahuan kita.

Mengadopsi sikap “tahu kalau dirinya tidak tahu” bukan hanya soal pengetahuan, tetapi juga soal kesadaran diri dan pengendalian ego. Dalam masyarakat yang cenderung menghargai orang yang tampak tahu segalanya, kita harus ingat bahwa pengetahuan adalah perjalanan, bukan tujuan akhir. Setiap orang berada dalam proses pembelajaran yang berkelanjutan, dan mengakui bahwa kita tidak mengetahui segalanya adalah langkah pertama untuk menjadi pribadi yang lebih bijaksana.

Selain itu, sikap ini juga memperkuat hubungan kita dengan orang lain. Saat kita jujur tentang ketidaktahuan kita, kita membuka ruang untuk komunikasi yang lebih jujur dan terbuka. Kita tidak lagi terjebak dalam permainan “siapa yang tahu lebih banyak”, melainkan berfokus pada saling membantu dan saling belajar.

Mengakui ketidaktahuan bukanlah tanda kelemahan, melainkan tanda kebijaksanaan. Sikap ini tidak hanya memperkaya kita sebagai individu, tetapi juga memperkaya hubungan kita dengan orang lain. Dengan belajar untuk mendengarkan, terbuka pada kritik, menjadi pembelajar seumur hidup, dan berani mengatakan “saya tidak tahu”, kita dapat terus berkembang dan menjadi versi terbaik dari diri kita sendiri. Kesadaran akan ketidaktahuan adalah kunci untuk membuka pintu menuju pengetahuan yang lebih dalam, hubungan yang lebih baik, dan kehidupan yang lebih bermakna.

Pada akhirnya, tau kalau dirinya tidak tau adalah fondasi penting bagi setiap orang yang ingin tumbuh, baik secara pribadi maupun intelektual. Dengan mengakui bahwa kita masih banyak yang belum kita pahami, kita membuka pintu untuk pengetahuan yang lebih luas dan mendalam, serta tumbuh menjadi versi diri kita yang lebih baik dari hari ke hari.

Penulis: Ricky Sulivan
Banyuwangi, 16 September 2024

Exit mobile version