Petani Banyuwangi Bingung Jual Gabah ke Bulog: “Informasi Minim, Harus Lewat Kelompok”
BANYUWANGI – Meskipun pemerintah telah menetapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah sebesar Rp 6.500 per kilogram dan mewajibkan Perum Bulog menyerap hasil panen petani dengan harga tersebut, kebijakan ini rupanya belum sepenuhnya dirasakan manfaatnya oleh para petani di lapangan.
Sejumlah petani di Dusun Krajan, Desa Kedayunan, Kecamatan Kabat, mengaku kesulitan mengakses mekanisme penyerapan gabah oleh Bulog. Mereka menyebut harus melalui kelompok tani, namun tidak pernah mendapat informasi jelas terkait prosedur dan teknis penjualannya.
“Kalau ke Bulog itu harus lewat kelompok tani, Mas. Tapi kelompok di tempat saya belum pernah kasih info soal itu,” ujar Sukandar, seorang petani lokal saat ditemui, Senin (14/04/2025).
Menurut Sukandar, selama ini ia memilih menjual gabah ke pabrik selep lokal. Meski harga yang ditawarkan sama dengan HPP, yakni Rp 6.500 per kg, para petani tetap dikenai potongan tara mulai dari 3 hingga 10 persen.
“Katanya kalau langsung ke Bulog bisa Rp 6.700 per kilo kalau kita antar sendiri, dan nggak dipotong tara. Tapi ya itu tadi, harus lewat kelompok tani, sementara kami nggak tahu cara mengaksesnya,” jelasnya.
Pembayaran Cepat dan Uang Muka Jadi Pilihan Petani
Petani lain, Kamto, juga menyampaikan alasan serupa. Ia lebih memilih menjual gabah ke pabrik karena proses pembayaran yang cepat dan adanya bantuan dana sebelum panen jika dibutuhkan.
“Kalau di selep, timbang langsung dibayar. Kadang malah dikasih uang muka kalau kita butuh. Bulog bisa gitu nggak? Kami bingung, berita bilang Bulog serap gabah, tapi nggak tahu harus lewat mana,” keluhnya.
Berbeda lagi dengan Hari Diantara, petani yang tinggal di kawasan perkotaan. Ia lebih memilih sistem tebasan (red: dibeli secara borongan), yakni menjual hasil panen langsung ke pengepul. Pilihan itu diambil karena keterbatasan lahan dan tingginya biaya tenaga kerja panen.
“Sawah saya kecil, upah panen sekarang mahal. Jadi saya pilih jual ke pengepul. Praktis, nggak repot,” tuturnya.
Minim Sosialisasi, Petani Tak Bisa Akses Harga Ideal
Kisah para petani ini menggambarkan adanya kesenjangan informasi dan akses antara kebijakan di tingkat pusat dengan kondisi riil di lapangan. Meski pemerintah telah menetapkan HPP gabah demi menjaga harga yang layak bagi petani, sistem distribusi informasi dan sosialisasi yang minim membuat banyak petani tidak dapat memanfaatkan kebijakan secara maksimal.
Pemerintah daerah dan instansi terkait diharapkan segera melakukan pembenahan sistem penyerapan gabah, serta mengintensifkan sosialisasi yang merata hingga ke desa-desa, agar petani bisa mendapatkan hak dan keuntungan yang telah dijanjikan dalam kebijakan nasional tersebut. (*)


Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.